Jutaan Muslim Mendambakan Haji Ke Tanah Suci, Ingin Menangis di Depan Ka’bah

Religi591 Views

Nabi Muhammad SAW bersabda. “Islam itu didirikan atas lima perkara. Yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang behak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa pada bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu melakukannya.” (mutafaqun alaih).

BERBAGI News – IBADAH Haji merupakan rukun Islam. Ini adalah penyempurnaan ibadah dan rukun yang sebelumnya. Empat rukun (Islam) yang pertama merupakan ibadah yang mampu dilaksanakan masing-masing pemeluk agama Islam: syahadat, shalat, zakat, dan puasa.

Namun, di haji ini ada garis bawah. Allah berfirman: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah,” (QS. Ali ‘Imran : 97).

Jutaan umat Islam pasti mendambakan haji ke tanah suci. Mereka ingin menangis di depan Ka’bah, meneguk air zamzam, berkhusyuk ria saat wukuf di Arafah, dan bermalam di Muzdalifah, dan melempar jumrah seperti yang telah dilakukan Nabi Ibrahim A’laihi salam.

Ibadah haji ini adalah merupakan yang termasuk dari salah satu ibadah yang sungguh berat. Karena selain mensyaratkan fisik yang prima dan materi, ibadah ini juga harus didasarkan kesiapan batin dan panggilan Allah.

Maka yang pertama dan utama harus disiàpkan itu adalah istitha’ah atau kemampuannya. Mulai dari kemampuan ilmu, seperti bagaimana mempelajari haji, dengan istilahnya yang disebut manasik haji. Kemudian juga kemampuan fisik mulai dari kekuatan dan kesehatan dan lain sebagainya yang terkait dalam pelaksaanan ibadah haji.

Disisi lain adalah dari keuangan juga harus diperhatikan. Jangan sampai untuk melaksanakan haji seorang Muslim memperoleh dananya dari pinjaman yang tidak sanggup dibayarkan ini cenderung memaksakan diri dan nantinya akan mengakibatkan keterpurukan ekonomi. Inilah yang dinilai sebagai persiapan zahir dan batin.

Namun, hal penting yang perlu dipersiapkan menuju Baitullah ke Tanah Suci yang setiap muslim pasti mendambakannya, karena mereka ingin menangis di depan Ka’bah, meneguk air zamzam yang mempunyai khasiat yang luar biasa, berkhusyuk ria saat wukuf di Padang Arafah, bermalam di Muzdalifah, dan melempar jumrah serta ibadah ritual lainnya yang pernah dilakukan Nabi Ibrahim.

Kesemuanya itu dalam berhaji, insya Allah akan diraihnya dengan catatan kunci penentunya adalah niat yang lurus penuh dengan keikhlasan guna mencari ridha Allah Swt. Karena boleh jadi, sesesorang memiliki kekayaan materi, ilmu, dan kesehatan, tapi nyatanya belum memiliki kecukupan niat yang kuat dan lurus untuk berhaji.

Allah hanya akan memberikan, memudahkan seserorang menunaikan haji kepada mereka yang mempunyai niat sungguh-sungguh. Kalau ada niat yang lurus untuk berhaji, nanti segalanya akan dimudahkan Allah.

“Yang secara materi mungkin tak punya harta dan bekal yang cukup, tiba-tiba ada saja jalannya bagi seseorang sampai ke Baitullah”. Insya Allah. Amiin ya rabbal a’lamiin.

Yang perlu kita ketahuilah, bahwa orang yang bisa melaksanakan ibadah haji merupakan hamba Allah, yang memiliki posisi khusus, yang utama di antara hamba Allah lainnya yang belum berkenan Allah berikan kesempatan baginya untuk melaksanakan ibadah haji.

Kedudukan seorang berhaji memiliki tempat khusus di sisi Allah karena dia telah menyempurnakan lima rukun yang telah Allah perintahkan bagi seorang hamba yang memeluk agama Islam, beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW.

Selanjutnya, untuk mengetahui kelulusan sesorang mendapatkan predikat lulus dari haji itu bukan dinilai ketika lagi melaksanakan ibadah haji tersebut. Ketika kita melaksanakan ibadah haji dan ingin menadapatkan haji mabrur, ada hadits mengatakan; “bahwa barangsiapa melaksanakan ibadah haji kemudian ia tidak melaksanakan kekejian apa pun tidak juga berbuat fasik, ia seolah seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya. (tanpa dosa)”.

Inilah benar-benar orang yang meninggalkan kesia-siaan atau pun segala suatu tindakan yang tidak memiliki nilai esensial ibadah di dalam pelaksanaan ibadah haji.

Bahwa di dalam pelaksanaan ibadah haji tidak boleh ada sedikit pun perbuatan keji, fasik, dan saling debat kusir, yang menimbulkan perpecahan dalam ibadah yang akhirnya merusak pahala haji itu sendiri.

Jadi, intinya adalah kita tidak boleh melalaikan diri dari mengingat Allah. Jangan sampai kita melaksanakan ibadah haji justru membuang nilai- nilai ibadah atau menjadi haji yang mardud (haji yang ditolak). Nau’dzubillahi min dzalik.

Seseorang itu dikatakan sukses berhaji ketika dia sudah kembali ke kampung halaman. Ktika dia bisa menjauhkan diri dari segala yang dilarang Allah, diberi ketenangan dalam beribadah. Maka itulah bagian tanda dirinya meraih prediket haji mabrur.

Aamin ya rabbal a’lamiin.
Walahu a’lam bish shawab.
Selamat membaca. Semoga bermanfaat.

Baca Juga :  UAS akan menggelar Tabligh Akbar di "Pulau Seribu Masjid"