Meraih Haji Mabrur dengan Bekal Taqwa

Agama420 Views

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Orang yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesugguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al Baqarah [2]: 197).

BERBAGI News – ALLAH SWT dalam ayat di atas memberikan tip untuk meraih haji mabrur. Yaitu dengan mengajak orang-orang mukmin yang akan menunaikan ibadah haji untuk mempersiapkan bekal yang memadai.

Bekal itu adalah yang meliputi bekal materi dan bekal spritual. Perhatikanlah firman-Nya, Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.

Termasuk dalam bekal materi adalah biaya selama dalam perjalanan, biaya untuk keluarga yang ditinggalkan, kesehatan, jasmani dan penguasaan materi tentang manasik haji.

Sebab, menurut Sayyid Quthb, bahwa dahulu ada sekelompok kaum dari penduduk Yaman berhaji tanpa bekal materi. Mereka mengatakan, “Kita akan berhaji ke Baitullah, masak Allah tidak memberi makan kepada kita?!” Persepsi ini jelas ngawur dan keliru, maka ayat tersebut mekuruskannya.

Termasuk dalam bekal spiritual adalah ikhlas, yaitu berhaji semata-mata karena Allah. Bukan untuk bangga-banggaan dan supaya dipanggil pak haji atau bu haji, tetapi adalah untuk optimalisasi mendekatkan diri [taqarub] kepada Allah SWT. Inilah esensi takwa yang merupakan sebaik-baik bekal bagi jamaah haji yang dimaksud.

Dengan takwa, perjalanan haji yang amat berat dan berisiko, menjadi ringan dan mudah. Dengan takwa, haji mabrur akan menjadi realita, bukan utopia.

Dan cendikiawan sejati [ulul albab] hanyalah mereka yang mampu menangkap arahan Allah SWT dan mengambil manfaat dengan takwa yang disebut sampai dua kali dalam ayat tersebut.

Setiap jamaah haji pasti berobsesi menjadi haji mabrur. Sebab, haji mabrur seperti sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, tidak ada balasan lain untuknya kecuali surga.

Tetapi, ternyata tidak semua orang yang pergi haji ke tanah suci meràih predikat haji mabrur. Hal ini sebagaimana disinyalir oken Umar bin al Khaththab, “Orang-orang yang rekreasi (turis) itu banyak, sementara jamaah haji (sejati) sedikit.

Masih banyak jamaah haji yang beranggapan kepergiannya ke tanah suci sebagai reakreasi, bukan perjalanan suci. Masih banyak dari mereka yang tampilannya bak wisatawan, bukan tamu Allah.

Jika hal ini yang terjadi alih-alih meraih haji mabrur, justru semua biaya dan tenaga yang ia kerahkan menjadi mabur, terbang dan hilang percuma. Nau’dzu billahi min dzalik.

Sungguh orang yang dipilih oleh Allah Swt dari ratusan juta kaum Muslimin untuk menunaikan
Ibadah haji adalah orang yang paling beruntung. Beragam keistimewaan dan keutamaan serta puncaknya adalah surga menantinya, jika ia meraih haji mabrur.

Namun, ujian dan cobaan yang mengotori kemabruran hajinya juga tidak sedikit. Dari sekian banyak ujian, ada 3 hal yang disebut dalam ayat diatas yang perlu senantiasa diwaspadai oleh jamaah haji, yàitu rafats, fusuq dan jidal.

Ketiga hal tersebut diberikan penekanan khusus untuk dijauhi, karena Allah Swt menginginkan jamaah haji untuk mekepaskan diri dari segala gemerlap dunia dan tipu dayanya, serta menyucikan diri dari segala dosa dan keburukan.

Sehingga terwujudlah tujuàn yang diinginkan dari ibadah haji yaitu penyucian jiwa dàn mengarahkannya secara total hanya beribadah kepada Allah Swt semata.

Hanya jamaah haji yang mampu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang negatif tersebutlah yang diibaratkan Nabi Saw seperti
bayi yang baru lahir ke dunia tànpa dosa.

Rasulullah Saw berasabda, “Orang yang menunaikan ibadah haji, tidak rafats dàn berabuat fasik, ia keluar dosa-dosànya seperti hari di saat ia dilahirkah ibunya,” (HR. Bukhari-Muslim).

Setelah melarang berbuat keburukan, Allah Swt membangkitkan semangat mereka untuk melakukan kebaikan seraya berfirman, Dan yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.

Pengertian kata dari ayat dilihat dan diketahui oleh Allah adalah merupakan penghargaan dan balasan dari Allah sebelum balasan yang sesungguhnya. Sehingga memotivasi seorang mukmin untuk semakin banyak memproduksi berbagai kebaikan. Wallahu a’lam bish shawab. (*)

Baca Juga :  Mulailah Dari Hal Yang Kecil