Berhaji Sepanjang Masa

Religi557 Views

“Sepulang dari tanah suci, seorang haji yang sukses adalah mereka yang berubah secara akhlak. Dia menjadi taat dalam beragama. Dia menjadi lebih penyantun, sabar dan lembut hati kepada siapa saja. Dia juga lebih ikhlas dan tawadhu dalam berbuat. Dan dia pasti lebih suka berkorban serta beramal kebajikan sebanyak-banyaknya untuk kemaslahatan umat.” [Agus Mustafa].

DENGAN menjadikan seluruh waktu hidup sebagai medan untuk melaksanakan Ibadah haji. Bahwa wukufnya tidak hanya terbatas di Padang Arafah. Setiap hari kita selalu melakukan perenungan di Padang Arafah Jiwa kita sendiri.

Mengevaluasi kualitas keberagamaan kita supaya menjadi semakin baik. Dan selalu membangun komitmen untuk menapaki hari esok yang lebih baik dibandingkan hari ini.

Inti perenungan di Padang Arafah adalah melakukan pengakuan-pengakuan dosa, sekaligus membangun komitmen untuk menjadi lebih baik …

Demikian pula, setiap hari kita bisa melakukan Lempar Jumrah dalam diri kita sendiri. Mengusir setan-setan yang selalu bergentayangan dalam sifat-sifat serta perilaku yang menjauhkan kita dari semangat berserah diri kepada-Nya.

Membenahi ketaatan, menguatkan kesabaran, memurnikan keikhlasan, dan meningkatkan pengorbanan demi kemaslaharan umat. Itulah lempar jumrah sesungguhnya.

Bukan sekedar melempar batu ke arah tugu-tugu buatan manusia. Semua itu hanya bersifat simbolisasi semata. Kewajiban bagi mereka yang ‘mampu’ secara fisikal & material … Pun setiap hari kita selalu menceburkan diri bertawaf dalam realiras kehidupan.

Tidak boleh mengasingkan diri dari kenyataan. Karena sesungguhnya Allah sedang meliputi segala gerak kehidupan ini. Untuk bertemu Allah bukan dengan cara menarik diri dari kehidupan, melainkan justru harus lebur dalam hiruk pikuknya kehidupan.

Tetapu dengan satu catatan, bahwa semuanya harus bergerak berputar di sekeliling ‘baitullah’. Berpusat kepada Allah semata. Dan, ingat juga setiap memulqi ‘tawaf jehidupan’ kita harus mengawalinya dengan bismillahi, Allahu Akbar – Dengan Nama Allah, Dia Yang Maha Besar.

Lantas, akhirilah semua ritaul haji kehidupan itu dengan melakukan Sa’i-perjuangan kita itu tiada henti. Lakukan jihad kehidupan kita berulang-ulang tanpa pernah berputus asa. Kadang-kadang bergerak lambat, kadang-kadang berlari-lari.

Bergeraklah terus karena hakikat jehidupan ini adalah ‘bergerak’. Siapa tidak bergerak dia bakal terlindas oleh dinamika kehidupan. Dan terinjak-injak oleh bengisnya pertarungan berbagai kepentingan.

Maka, berhaji adalah menapaki puncak kualitas dari perjalanan keagamaan seorang muslim. Bukan di tanah suci nun jauh di sana. Melainkan di seluruh ‘tanah suci’ dimana kita sedang hadir untuk mensucikan diri sejati.

Tanah itu menghampar dari buaian ibu sampai ke tepi liang lahat kuburan kita sendiri. Itulah Padang Arafah kita. Itulah Jamarat kehidupan kita. Itulah medan bertawaf kita. Dan itu pula padang tandus antara ‘Shafa’ dan Marwa’ yang harus kita lalui dengan perjuangah tiada henti.

Sampai suatu saat nanti, kita harus ‘pulang’ dengan membawa oleh-oleh haji sejati: berserah diri hanya kepada Ilahi Rabbi… Insya Allah kita akan memperoleh haji yang sejati. Karena haji bukanlah nama, tapi makna.

Semoga Allah Swt senantiasa memberkati… Amiin ya rabbal a’lamiin. Wallahu a’lam bish shawab.

[Sumber: Dari Buku Haji Tanpa Berhaji, Agus Mustafa, 2009].

Baca Juga :  Perpaduan Pikir dan Dzikir