Rahasia Kekuatan Kalimat Syahadat

Agama2014 Views

“Jika kehebatan al-Qur’an dan kekuatan Islam ini digali, maka syahadat seketika berubah memiliki taring. Iman ini bertransformasi menjadi energi yang siap menggerakkan. Ada motivasi lebih hebat untuk mengamalkan ajaran Islam dan mendakwahkan kebaikan.” [Ulama] .

BAGI orang yang beriman, kalimat syahadat bukanlah ucapan formalitas tanpa makna. Tidak cuma diucapkan begitu saja. Syahadat yang benar akan melahirkan kekuatan dan inilah simbol kemenangan.

Seorang mengaku bersyahadat, berarti sudah diterima oleh Allah SWT sebagai mujahid-Nya, sebagai khalifah-Nya. Tak melihat kapasitas pribadi seseorang, tetapi predikat dirinya sebagai seorang yang beriman dan telah mengucapkan kalimat syahadat. Syahadat tersebut adalah proklamasi akan sebuah amanah besar yang wajib dipikul.

Lehih jauh, orang yang beriman selayaknya bertanya pula, apa kontribusi dirinya keapada agama? Setidaknya ada manfaat yang dirasakan oleh kaum Muslimin lainnya. Berkaca kepada sahabat Nabi, seketika ada peran yang langsung ditunaikan dan manfaat yang dibagi kepada orang lain.

Apakah agama ini bergerak maju, semakin berkembang, atau justru terbebani dengan kehadiran kita? Jangan sampai agama justru menjadi tercoreng dan keberadaan kita jadi beban bagi orang lain.

Jika kehebatan al-Qur’an dan kekuatan Islam ini digali, maka syahadat seketika berubah memiliki taring. Iman ini bertransformasi menjadi energi yang siap menggerakkan. Ada motivasi lebih hebat untuk mengamalkan ajaran Islam dan mendakwahkan kebaikan.

Lihatlah para ulama dan tokoh-tokoh Islam di masa kemerdekaan dahulu. Bersama rakyat dan para santri, mereka bahu-membahu dan bersatu padu dalam mengusir bangsa penjajah.

Mereka berhasil mengolah syahadat menjadi kekuatan sekaligus modal kemenangan. Meski hanya bersenjata bambu runcing, tapi itu dirasa sudah cukup karena ditopang oleh keimanan yang kuat kepada Allah SWT Yang Mahakuasa.

Sebaliknya, ketika potensi syahadat ini tidak optimal, maka kalimat tauhid nyaris tidak menghasilkan apa-apa. Tak ada perubahan drastis layaknya Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, dan lainnya ketika mereka mengucapkan kalimat syahadat.

Perilakunya berubah, keyakinannya bertambah, bahkan menjadi berlipat-lipat. Ada ketenangan di hati, jiwa penuh semangat, gairah bekerja yang bertambah produktif. Semua itu menjadi awal dan modal kemenangan selanjutnya.

Bagi orang beriman, kalimat syahadat bukanlah ucapan formalitas tanpa makna. Tidak cuma diucapkan begitu saja. Syahadat yang benar akan melahirkan kekuatan. Ini simbol kemenangan. Setidaknya kalimat itu menjadi perantara dirinya untuk meraih kekuatan yang lebih hebat dari Allah SWT Sang Pencipta alam semesta.

Namun ketika syahadat itu tidak berfungsi dengan baik, maka ia hanyalah pintu masuk mengerjakan ibadah-ibadah secara ritual saja. Tampak seperti sekadar menggugurkan kewajiban. Sedang dirinya juga tak beroleh apa-apa kecuali asyik menghitung kalkulasi pahala saja.

Inilah fungsi utama kalimat tauhid. Menjadi tempat tegakknya seluruh rangkaian ibadah dan amal shalih yang lain. Ia sebagai penjamin diterimanya satu amalan.

Yakni iman kepada Allah SWT dan semata-mata ikhklas berbuat karena-Nya. Kalau ini berjalan dengan baik, maka jangankan ibadah yang bersifat ritual, amalan yang dihukumi mubah sekalipun juga bisa diganjar ibadah dan dianggap upaya menegakkan dan memperjuàngkan agama Islam.

Harus diakui, ternyata Islam yang dikenal selama ini masih terbatas kulit permukaannya. Terbukti, berulang kali ditunaikan dan kalimat syahadat diucapkan, berkal-kali kitab suci al-Qur’an dibaca dan sekian kali ibadah yang lain dikerjakan, tetap saja belum melahirkan apa yang diharapkan. “Hayya ‘alal falah” [mari menuju kemenagan]. Demikian seruan sekaligus janji yang senantiasa terdengar pada setiap kumandang azan.

Ketika muncul ratapan tentang kebangkitan Islam atau kerinduan tentang tegaknya peradaban Islam, itu pertanda ajakan agar kembali ber-Qur’an. Hendaknya mendorong setiap muslim memacu diri untuk mencermati lebih jauh apa yang mesti dibenahi di masa kini.

Maka menjadikan sejarah kehidupan Nabi Saw sebagai standar. Itu yang utama. Mempelajari cara Nabi Saw berinteraksi dengan al-Qur’an dahulu. Agar apa yang dicapai oleh Nabi Saw dan sahabat-sahabatnya bisa ditapaktilasi di masa sekarang.

Wallahu a’lam bish shawab.
Selamat membaca dan Semoga bermanfaat.

[Sumber bacaan: Suara Hidayatullah, Edesi 3, XXXIII, 2021]

Baca Juga :  Jangan Takut Menerima Ujian Sakit