Meneladani Sikap Toleransi Rasulullah SAW

Religi558 Views

Oleh: ASWAN NASUTION

“Sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”[QS. Al-Ahzab {33}: 21].

DALAM kesempatan bulan Rabiul Awal ini, marilah kita senantiasa belajar meneladani perilaku Rasulullah SAW, mahkluk paling agung pengemban risalah suci untuk memperbaiki akhlak manusia. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” [ HR. Al- Baihaqi dan Abu Hurairah Ra].

Salah satu poin penting yang bisa kita contoh dari beliau adalah akhlak dalam konteks hubungan sosial. Rasulullah SAW termasuk pribadi dengan keluasan hati yang mengagumkan. Beliau tidak hanya orang yang gigih dalam memperjuangkan syi’ar Islam, tapi juga menunjukkan perangai mulia dalam berdakwah.

Ketika kita membaca kembali lembar tarihk [sejarah] peradaban Islam, kita akan menemukan fakta bagaimana Nabi SAW bersikap kepada pasukan musuh begitu momen kemenangan besar Fathul Makkah [pembebasan kota Makkah] diraih.

Kejadian itu bermula saat kaum musyrikin Quraisy di Makkah merusak kesepakatan gencatan senjata yang dikenal dengan “Perjanjian Hudaibiyah”, hingga mengundang sepuluh ribu pasukan muslim dari Madinah untuk menyerbu Makkah.

Seluruh kaum musyrikin dilanda ketakutan, terutama pemimpin tertinggi mereka, yakni Abu Sufyan. Dengan kekuatan pasukan muslim yang berkembang demikian pesat, ia sadar betul kekalahan bagi kelompoknya sudah di depan mata. Reputasi dirinya sebagai pemimpin yang sangat disegani pada hari itu runtuh, wibawanya sebagai jawara tanpa tanding pun remuk. Lalu apa yang diperbuat oleh Rasulullah SAW?

Rasulullah SAW bukanlah tipe pendendam dan pemarah. Sejarah perlakuan buruk kaum musyrikin Quraisy, termasuk Abu Sufyan, terhadap dirinya dan umat Islam tidak membuatnya bertindak secara membabi buta. Dihadapan khalayak waktu itu, Nabi SAW justru berpidato, “Barangsiapa masuk ke dalam Masjidil Haram, dia akan dilindungi. Barangsiapa masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia akan dilindungi.”

Ungkapan ini membuat banyak orang terperanjat. Nabi SAW seakan paham dengan suasana batin Abu Sufyan, pasukkan musuh itu. Mendengar pengumuman itu, hati Abu Sufyan yang garang luluh bercampur bahagia. Meskipun dalam posisi terpojok, ia merasa sangat terhormat dan terlindungi.

Tidak tanggung-tanggung, Rasulullah SAW seolah menyajarkan rumahnya dengan Masjidil Haram. Barangkali karena kemuliaan akhlak Nabi SAW inilah Abu Sufyan tak lagi canggung memeluk agama Islam.

Dari sini kita belajar, Nabi Muhammad SAW tidak hanya pandai bertutur tentang pentingnya berbuat bijak kepada sesama, tetapi beliau konsisten dengan memberikan teladan langsung dalam wujud perilaku.

Penghormatan Nabi SAW di sini tidak sebatas kepada orang atau kelompok yang berbeda pandangan dengan dirinya, tapi bahkan kepada orang atau kelompok yang sedang memusuhinya. Maka benarlah ungkapan sebuah hadits sahih: “Agama yang paling dicintai Allah adalah al-hanafiyah as-samha [yang lurus lagi toleran].”

Rasulullah SAW juga memberi isyarat bahwa, tidak ada hubungan keimanan seseorang dengan perasaan benci. Sehingga, kita pun menjadi heran saat menyaksikan banyak orang-orang yang merasa iman meningkat tapi kebenciannya terhadap orang yang tidak seiman dengan dirinya pun ikut meningkat.

Sikap semacam ini kontradiktif dengan sabda Nabi SAW sebagaimana tertulis dalam kitab Riyadlus Shalihin: “Mukmin yang paling sempurna adalah mereka yang paling indah akhlaknya.”

Dalam Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim pernah dikisahkan, yaitu; “Rasulullah SAW berdiri [memberi hormat] ketika sebuah iring-iringan jenazah yang lewat dihadapannya. Salah seorang sahabat beliau mengingatkan bahwa janazah itu adalah janazah orang Yahudi, [yang tak layak mendapat penghormatan]. Beliau langsung menjawab, “Bukankah ia juga manusia?”

Perilaku Rasulullah SAW tersebut menyiratkan pesan bahwa keteguhan iman seseorang ditandai bukan dengan sikap angkuhnya terhadap orang yang berbeda. Justru sebaliknya, kuatnya keyakinan itu justru memantulkan sikap-sikap tawadhu’, rasa hormat, tasamuh [toleran] dan terbuka terhadap yang lain.

Semoga kita menjadi mukmin yang mampu meneladani perilaku Rasulullah SAW dalam hal toleransi kepada sesama manusia. Sehingga kita bisa hidup berdampingan dengan sesama anak bangsa, meskipun berbeda keyakinan, selama itu berada dalam koridor syari’at Islam yang benar. Wallahu a’lam bishshawab.

Dafrar bacaan: Dikutip dari berbagai sumber
Selamat membaca dan semoga bermanfaat
Wassalam, Al Faqir Aswan Nasution, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat [NTB].

Baca Juga :  Mengawal Moral Bangsa dengan Dakwah