Menghormati Guru Kunci Keberkahan Ilmu Pengetahuan

Oleh: ASWAN NASUTION

Religi649 Views

“Salah satu penyebab hilangnya keberkahan ilmu dan munculnya berbagai problematika dalam menuntut ilmu adalah kurang diperhatikannya masalah adab dan akhlak dalam proses belajar ilmu. Inilah pula yang memicu merebaknya kebobrokan moral, kenakalan dan kriminalitas pelajar yang menghantui jagad pendidikan di negeri kita saat ini. Betapa ilmu belum mampu memandu para pelajar menapaki kemuliaan hidup dan kesantunan moral yang menyejukkan kehidupan sosial kita.” [Cendekiawan Muslim].

SETIAP tanggal 25 November kita memperingati Hari Guru Nasional [HGN]. Peringatan ini bertujuan untuk mengenang, menghargai dan mengapresiasi jasa para guru di Indonesia.

Tidak berlebihan jika para guru dinobatkan sebagai pahlawan bagi anak-anak kita, yang dari mereka putra-putri kita bisa belajar dan memperoleh ilmu pengetahuan. Dan tidak juga salah jika kita katakan bahwa guru adalah orang hebat.

Hari Guru harus menjadi nasihat bagi kita dalam memuliakan dan menghormati guru kita. Sekali saja mereka mengajarkan satu huruf, maka tidak ada istilah dalam kamus kita, ia adalah mantan guru kita. Selamanya ia adalah guru kita, dulu, sekarang, dan sampai kapan pun.

Peradaban gemilang dibangun dari batu-bata keilmuan yang berkualitas. Masih ingatkah kita kisah Kaisar Jepang Hirohito pada perang dunia II?. Saat Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom atom. Sang Kaisar mengumpulkan para Jenderalnya.

Para Jenderal menduga bahwa Kaisar akan melakukan serang balasan. Dugaan mereka meleset, Kaisar ternyata bertanya berapa jumlah guru yang selamat, Kaisar Hirohito mengatakan bahwa Jepang telah jatuh.

Kejatuhan ini dikarenakan mereka tidak belajar. Jenderal dan tentara Jepang boleh jadi kuat dalam senjata dan strategi perang, tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai bom yang telah dijatuhkan oleh Amerika.

Kaisar Hirohito menambahkan bahwa Jepang tidak akan bisa mengejar Amerika jika tidak belajar. Dia kemudian mengimbau kepada para Jenderalnya untuk mengumpulkan seluruh guru yang tersisa di seluruh pelosok Jepang. Sebab kepada gurulah seluruh rakyat Jepang kini harus bertumpu, bukan pada kekuatan pasukan.

Kisah di atas menjadi bukti bahwa kita tidak boleh memandang sebelah mata akan posisi guru dalam kehidupan kita, baik itu guru di sekolah maupun guru spritual seperti ulama, kiai, ustadz-ustadzah dan lainnya.

Di sinilah harus muncul kesadaran dari diri kita untuk selalu menghormati sosok yang berjasa dalam memajukan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

Sayangnya, sikap hormat ini semakin luntur oleh perubahan zaman. Seolah guru itu sudah sepantasnya mengajar, toh dia sudah diberi gaji dan tunjangan. Jadi, wajar-wajar saja jika mengajar. Pernyataan ini adalah salah satu tanda lenyapnya sikap penghormatan kepada guru yang nenilai guru dari sisi materi.

Apa yang menyebabkan sikap demikian? Setidaknya ada dua. Pertama, liberalisasi sistem pendidikan. Pendidikan yang mendewa-dewakan kecerdasan akal, menitik beratkan pada aspek kecerdasan intelektual belaka [khas pendidikan ala Barat].

Hal ini yang merupakan salah satu biang keladi lunturnya sikap hormat kepada guru. Sekolah dan Universitas didirikan layaknya sebuah pabrik yang memproduksi manusia-manusia dengan orientasi bisa memperoleh pekerjaan dan uang yang sebanyak-banyaknya. Sudahlah begitu, mereka tidak mengindahkan akhlak yang mulia.

Kedua, sikap abai sebagian kita sebagai orang tua dalam pendidikan anak. Sebagian kita merasa bahwa karena kita sudah mendaftarkan dan memasukkan anak kita ke sekolah atau pesantren, maka tanggung jawab pendidikan tidak lagi menjadi perhatian, cukup mereka serahkan begitu saja kepada pihak lembaga pendidikan.

Padahal, pendidikan adalah tanggung jawab bersama, orang tua dan sekolah. Orang tua seharusnya tetap memantau, mengawasi, membimbing, dan mendidik tumbuh kembang spritual putra putrinya.

Terkait dengan guru, Islam agama yang memposisikan seorang guru di tempat yang mulia. Guru merupakan orang yang berilmu, yang patut dicontoh dan diteladani oleh murid-muridnya.

Oleh karena itu, seorang guru haruslah senantiasa menjaga perilaku dan etikanya agar dapat menjadi contoh bagi murid-muridnya. Guru adalah seorang yang berilmu, seorang yang beriman dan berilmu akan Allah tinggikan derajatnya.

Allah Swt berfirman dalam Al-Quran surah al-Mujadalah ayat 11: Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat,” [QS. Al-Mujadalah: 11].

Jadi, guru menjadi sebuah profesi yang mulia dan terhormat, karena beliau mengemban tugas untuk menyebarkan ilmu, mengajarkan etika dan norma yang baik, sekaligus menjadi contoh dan panutan bagi murid-muridnya.

Rasulullah Saw bersabda: Artinya: ” Keutamaan seorang yang berilmu [yang mengamalkan ilmunya] atas orang yang ahli ibadah adalah seperti utamanya bulan di malam purnama atas semua bintang-bintang lainnya.” [HR. At-Turmudzi].

Dengan demikian kita wajib menunaikan hak-hak para guru, memuliakan mereka, mengajarkan anak-anak kita untuk menghormati dan memuliakan mereka.

Apalagi zaman ini dimana banyak hak-hak para guru yang tidak ditunaikan dengan semestinya. Sungguh betapa menyedihkan bila kita menengok sikap anak-anak kita terhadap para guru hari ini. Hal itu juga karena kesalahan kita dalam mendidik anak sehingga tidak hormat terhadap gurunya. Tidak dikenalkan adab dalam menuntut ilmu, sehingga melahirkan generasi yang keberkahan ilmunya dicabut.

Salah satu hal yang menjadi faktor keberhasilan pendidikan adalah menghormatinya murid kepada sàng guru. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’limal Muta’allim: “Ketahuilah bahwasanya seorang pencari ilmu tidak akan bisa memperoleh ilmu dan tidak akan mendapatkan manfaatnya kecuali dengan menghormati ilmu, ahli ilmu, maupun guru.”

Dengan kita mempunyai ilmu, maka kehidupan kita menjadi semakin terasa hidup, karena ada pepatah mengatakan: “Orang-orang berilmu akan tetap hidup dan abadi setelah wafatnya, meski tubuhnya telah berkalang debu [tanah] menjadi serpihan tak berarti. Sementara orang yang tak berilmu tak ubahnya bangkai yang berjalan di atas tanah, ia dianggap hidup padahal ia telah mati.”

Oleh karena begitu berharganya ilmu, maka sudah selayaknya kita menghormati guru-guru kita. Semoga dengan begitu kita bisa mendaptkan ilmu yang berkah bagi diri kita dan bermanfaat bagi orang lain.

Semoga keberkahan ilmu yang kita dapatkan adalah merupakan jasa para guru, yang tak pernah kita lupa sepanjang hayat. Wallhu ‘alam bish shawab.

Dikutip: dari berbagai sumber bacaan.
Wassalam: al-Faqir Aswan Nasution, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat [NTB].

Baca Juga :  Perayaan Ulang Tahun Perspektif Islam