Mengapa Nikmat diganti Bencana?

Oleh: Aswan Nasution

Religi529 Views

“Tidak ada suatu musibah yang menimpa [seseorang], kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. At-Thagaabun: 11].

IMAM Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam bukunya Ad-Daa’ wad Dawwa’, hal. 113-114, menyebutkan: “bahwa kunci pokok segala kebaikan adalah dengan kita mengetahui [meyakini] bahwa apa yang Allah kehendaki [pasti] akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi.

Pada saat itulah kita yakin bahwa semua kebaikan [amal saleh yang kita lakukan] adalah termasuk nikmat Allah [ karena Dia-lah yang memberi kemudahan kepada kita untuk bisa melakukannya.

Sehingga kita akan selalu mensyukuri nikmat tersebut dan bersungguh-sungguh merendahkan diri serta memohon kepada Allah agar Dia tidak memutuskan nikmat tersebut dari diri kita.

Sebagaimana [kita yakin] bahwa semua keburukan [amal jekek yang kita lakukan] adalah karena hukuman dan berpalingnya Allah dari kita sehingga kita akan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar menghindarkan diri kita dari semua perbuatan buruk tersebut, dan agar Dia tidak menyandarkan [urusan] kita dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan kepada diri kita sendiri”.

Terkait dalam hal ini bahwa diantara hukuman akibat dosa-dosa adalah menyebabkan lenyapnya kenikmatan dan datangnya hukuman.

Jadi, tidaklah sebuah kenikmatan dalam bentuk apa pun yang lenyap atau meninggalkan seorang hamba, kecuali sebabnya karena sebuah dosa.

Demikian pula tidaklah datang sebuah hukuman, kecuali disebabkan karena dosa juga. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib r.a, “Tidaklah sebuah bencana menimpa, kecuali disebabkan karena dosa dan bencana tersebut tidak akan dihilangkan kecuali dengan tobat.”

Allah Ta’ala berfirman: ” Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak [dari kesalahan-kesalahanmu].” [QS. Asy-Syuraa: 30].

Dalam firman-Nya juga: “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri ….”[QS. Al-Anfaal: 53].

Jadi, Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia tidak akan mengubah kenikmatan yang Dia berikan kepada seorang pun hingga hamba itu sendirilah yang mengubahnya, yaitu ia mengubah ketaatan kepada Allah dengan tidak maksiat kepada-Nya, mengubah tidak bersyukur kepada-Nya dengan mensyukuri-Nya, dan mengubah sebab-sebab keridhaan-Nya dengan kemurkaan-Nya.

Jadi, jika seorang hamba mengubahnya, Allah pun mengubahnya sebagai balasan yang setimpal dan Rabb-mu sama sekali tidak berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya.

Sebaliknya, jika seorang hamba mengubah maksiat dengan ketaatan, Allah pasti akan mengubah hukuman-Nya dengan keselamatan, kedamaian, dan kebahagiaan.

Allah Ta’ala berfirman: “…Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah kedaan suatu kaum sebelum mereka mengubah kedaan diri mereka sendiri. Dan, apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” [QS. Ar-Ra’d: 11].

Akhir-akhir ini, kita semua telah tahu bala- bencana silih berganti mendera bangsa kita. Belum reda kita dihantam satu bencana, sudah menyusul bencana-bencana lain yang tidak lebih ringan.

Nampaknya kita masih terus berhadapan dengan gelombang bencana alam yang datang susul-menyusul. Seolah tidak memberi kita jeda waktu walau sebentar saja.

Bencana alam datang tanpa seorangpun bisa menerka kedatangannya. Tiba-tiba dia muncul, melenyapkan semua kesenangan yang kita nikmati.

Sungguh, dihamparan bencana-bencana yang memilukan ini, tidàk ada lagi kesombongan yang angkat bicara. Perhatikan, adakah manusia yang paling cerdas otaknya, paling kuat tubuhnya dan yang paling licik siasatnya, adakah mereka sanggup menahan gelombang bencana ini?

Multi bencana yang selama ini terjadi, ada yang menyebutnya sebagai faktor alam dan ekosistemnya dan lain sebagainya. Namun hakikatnya, ini adalah krisis Iman. Bangsa kita belum nengenal Tuhannya dengan baik. Dia tidak mengenal dirinya sendiri dengan baik. Dan bangsa kita ini belum mengenal jalan untuk hidup secara baik dan benar yang menurut petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Maka kita tidak usah heran, kekayaan negeri ini yang begitu melimpah sebagai karunia Allah, tiba-tiba berubah menjadi bala bencana yang mengerikan.

Negara yang kaya raya tiba-tiba jadi miskin, penuh dengan tumpukan hutang. Negara yang subur makmur, tenggelam dalam banjir. Semua ini mengisyaratkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang kurang bersyukur.

Bala dan bencana tidak akan menimpa kecuali akan kepada pembuatnya sendiri. Mengutuk, menyalahkan, mencemooh, silakan sesuka hati kita. Namun ingat, semua itu tidak akan berguna untuk menyelesaikan masalah.

Masalah utama kita bukan pada orang lain, namun lebih pada hati-hati kita sendiri yang rusak digerogoti penyakit yang berbahaya yaitu penyakit hati seperti iri, dengki, sombong, angkuh, fitnah, buruk sangka, ghibah, zhalim, dan lain sebagainya.

Akhirnya inilah pesan Allah dalam firman-Nya: “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dah bumi, tetapi mereka mendustakan [ayat-ayat Kami] itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya,” [QS. Al-Araaf: 96]

Wallahu ‘alam bishawab.
Dikutip: dari berbagai sumber bacaan.
Selamat membaca semoga bermanfaat.
Wassalam; Al-Faqir Aswan Nasution, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB].

Baca Juga :  Isra' Mi'raj dan Ekonomi Umat