Roah Adat Desa Wisata Batu Kumbung

Lombok Barat, BERBAGI News – Masyarakat Kampung Wisata Budaya di Dusun Batu Kumbung, Desa Batu Kumbung, Kec. Lingsar Lombok Barat (Lobar) mempunyai tradisi unik untuk menyampaikan rasa syukur dan memohon keberkahan dari hasil panen yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.

Adalah Roah Adat, tradisi yang dilakukan masyarakat Dusun Batu Kumbung setiap tahunnya ini merupakan tradisi yang dilakukan turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu.

Menjadi lebih istimewa dan sakral bagi masyarakat Batu Kumbung, karena Roah Adat ini dilaksanakan di petilasan Pancor Denek, sebuah tempat yang dipercaya merupakan peninggalan dari salah satu penyiar agama islam terdahulu di Desa Batu Kumbung yang bernama Patinglaga Denek Prawangsa atau yang dikenal juga dengan nama Sayyid Abdullah Zain Al-Hamidi.

Di tempat ini juga masih bisa dijumpai sejumlah peninggalan beliau semasa berdakwah dahulu berupa Al-Qur’an tulis tangan, naskah khutbah jum’at yang tertulis pada lembaran kulit onta, sejumlah tulisan kuno yang tertulis di daun lontar (takepan), hingga beberapa lembar kain gendongan (lempot) berhiaskan koin-koin kuno.

Dituturkan Kepala Desa (Kades) Batu Kumbung H. Wirya Adi Spautra, jika kegiatan ini masih mempunyai hubungan dengan kegiatan Pujawali di Lingsar beberapa hari yang lalu.

“Kalau masyarakat di Lingsar melaksanakan kegiatan Pujawali, seminggu setelahnya pasti masyarakat kami melaksanakan kegiata roah adat ini,” ucap Wirya di tengah kegiatan roah adat sore kemarin, Jum’at (16/12).

Menurutnya, bangunan Kemalik yang ada di Lingsar dipercaya masyarakat masih mempunyai keterkaitan dengan Sayyid Abdullah Zain Al-Hamidi ini.

Adapun sejumlah rangkain acara pada tradisi roah adat Dusun Batu Kumbung ini dimulai dengan Tunas Paice, yakni berziarah ke Kemalik yang ada di Lingsar.

Baca Juga :  Segera Hadir, Perang Bintang Mayura Jilid 2

Lalu dilanjutkan dengan Berejap. Dalam kegiatan ini masyarakat berbondong-bondong mempersiapkan pusaka dan benda-benda peninggalan untuk dipersiapkan ke petilasan Pancor Denek. Selain itu masyarakat juga membuat dulang pesaji, yaitu makanan-makanan olahan yang ditempatkan di dalam sebuah wadah (dulang) untuk dibawa ke tempat pusat ritual adat yaitu petilasan Pancor Denek.

Selanjutnya kegiatan dilanjutkan dengan tausiah atau pengajian umum yang disampaikan oleh tokoh agama setempat, diikuti dengan zikir dan do’a bersama, kemudian pembukaan benda peninggalan sang pendakwah.

Setelah itu ada pengambil air doa (kekuluh/kulhu) yang sudah disiapkan di Pancor Denek dengan berbagai wadah, lalu diakhiri dengan begibung atau makan pesaji (hidangan,red) secara bersama-sama.

Pemerhati pariwisata Taufan Rahmadi yang juga hadir pada kegiatan ini memberikan pujian kepada masyarakat Batu Kumbung yang telah melestarikan tardisi dan peninggalan bersejarah yang sangat berharga ini.

“Salah satu kekuatan pariwisata di suatu daerah itu adalah ketika daerah itu mampu menjaga keaslian budayanya,” cetus Taufan.

Tak tanggung-tanggung, pria yang juga merupakan juru bicara Menteri Pariwisata Indonesia ini menyebut jika keberhasilan masyarakat melestarikan tradisi seperti ini lebih berharga dibanding penghargaan anugerah desa wisata sekalipun.

“Jikapun nanti ikut ADWI dan menang, itu hanya bonus,” lanjutnya.

Di tempat yang sama, Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Provinsi NTB Yusran Hadi yang juga berkesempatan hadir saat roah adat sore kemarin mengatakan bahwa adanya peninggalan budaya adat istiadat masyarakat yang unik dan menarik tentu akan mendorong wisatawan datang berkunjung.

“Tentu saja event yang terus diselenggarakan setiap tahun seperti ini akan terus berlanjut dan mudah-mudahan bisa semakin ramai,” kata Yusran.

Kedepannya ia berharap sebelum acara puncak, penyelenggara bisa menambahkan rangakaian-rangakaian event lainnya sehingga bisa lebih semarak.

Baca Juga :  Cerita DiBalik Tradisi Dilah Maleman Lombok

“Sehingga bisa lebih besar, menjadi event yang bisa dikembangkan oleh masyarakat desa, kemudian oleh pemerintah kabupaten dan tentunya pemerintah provinsi,” pungkasnya.