Prof. Rudy Harjanto: Tantangan Hiperealitas di Era Digitalisasi

Berita Utama740 Views

JAKARTA, BERBAGI News – Dunia saat ini telah memasuki era digitalisasi yang membuat kita menghadapi tantangan hiperrealitas yang hadir karena membludaknya informasi yang didapat di berbagai platform digital.
Jika informasi tersebut saling bertentangan, maka akan sulit untuk menarik kesimpulan tentang apa sebenarnya isi informasi yang ingin disampaikan dan berpotensi menjadi hiperealitas.

Menurut Prof. Dr. Rudy Harjanto, M.Sn. hiperealitas digunakan sebagai aksiomatik bahwa ‘kita’ masing-masing adalah ‘subjek’, lalu hiperrealitas mengeksplorasi ‘subjek’ sebagai konstruksi budaya baik secara teoritis maupun praktis.

Subjek mungkin merupakan lokasi di mana makna manusia muncul dan diperebutkan, dan karena itu menjadi lokus kekuasaan. Dengan mengembangkan pemahaman tentang subjek—identitas dan asal-usulnya—kita mulai memahami diri kita sendiri dan dunia di mana kita selalu dan sudah berada.

Argumen ini menggemakan eksplorasi terkenal Heidegger (1983) tentang sifat keberadaan seperti biasa dan sudah menjadi makhluk di dunia. Dari perspektif fenomenologis, ini adalah kedudukan subjek (Merleau-Ponty 1962).

Prof Rudy menjelaskan jika hiperealitas bisa lahir dari melimpahnya informasi di media sosial dengan kemampuan untuk menambahkan informasi pada informasi yang telah disampaikan orang lain dalam berbagai aplikasi.

“Para pengguna di aplikasi yang sama dapat melengkapi atau bahkan mengurangi konten yang bertentangan dengan pandangannya,” jelasnya pada pelantikan Pengurus Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) Wilayah Jabodetabek periode 2022-2025.

Kemampuan memberikan informasi tambahan ini, lanjut Prof. Rudy, membuka peluang bagi khalayak untuk mendapatkan dua sumber informasi — yang pertama dikendalikan oleh pemilik akun aplikasi, dan yang di luar kendali langsung pemilik akun aplikasi.

Perbedaan informasi ini berpotensi mengubah penilaian, daya tarik, dan kredibilitas konten yang disampaikan oleh pemilik akun aplikasi sosial. Jika informasi ini saling bertentangan, maka akan sulit untuk menarik kesimpulan tentang apa sebenarnya isi informasi yang ingin disampaikan dan berpotensi menjadi hiperealitas.

Baca Juga :  Hari Pahlawan, Google Doodle menampilkan Ismail Marzuki

“Hiperealitas seringkali mempertentangkan simulasi dan representasi. Simulasi adalah simulacrum dalam pengertian khusus, dalam pengertian bahwa sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri,” lanjut Dewan Pakar ASPIKOM tersebut.

Simulacra (Baudrillard, 1981) digunakan untuk menjelaskan kondisi runtuhnya realitas. Keadaan ini menjelaskan realitas diambil alih oleh berbagai rekayasa model seperti citraan, halusinasi, simulasi, dan sebagainya. Rekayasa model tersebut dianggap lebih nyata dari realitas sehingga perbedaan antara realitas dan hiperealitas menjadi kabur.

“Hiperalitas ditandai dengan lenyapnya bentuk asli dari sebuah objek karena diambil oleh duplikasi dari fantasi,” lugasnya.

Hampir sebagian besar kedudukan dunia nyata (real life) saat ini diambil alih perlahan oleh kedudukan dunia maya (cyberspace). Cyberspace memiliki pengertian sebagai suatu bentuk ruang yang di dalamnya orang dapat menciptakan dan mengubah peran, identitas, dan konsep diri mereka sesuai dengan keinginannya. Hal tersebut bisa dicontohkan dengan perilaku banyak orang di media sosial

Dalam dunia maya cakupan informasi pun bisa didapatkan dari berbagai arah. Sehingga tidak heran jika masyarakat saat ini menjadi hiperealitas bukan lagi realitas.

Gaya hidup, citra, dan pembentukan personalitas yang selama ini ditampilkan lewat media sosial dan internet dipandang begitu indah oleh para penggunanya. Padahal kenyataannya tidak semua yang ditampilkan tersebut merupakan realitas yang sebenarnya. Kenyamanan yang diperoleh dalam dunia maya tersebut mungkin saja ternyata berbanding terbalik dengan kondisinya di dunia nyata. Akibatnya ia akan lebih memilih kehidupan di dunia mayanya ketimbang kehidupan sosialnya.

“Kita mungkin kini lebih percaya diri tampil di media sosial karena hadirnya aplikasi yang dapat mempercantik wajah dengan berbagai macam fiturnya. Hal itu disebabkan karena mereka mampu menunjukkan eksistensi mereka yang seperti tanpa celah, cantik/tampan, baik hati, bijak, dan disegani,”

Baca Juga :  Disnakertrans NTB Lepas 22 Peserta Magang Jepang LPKS Bali Tosha Lombok Kochi

“Rasanya kita semakin jauh untuk tampil apa adanya demi mencapai kesempurnaan ‘semu’ tersebut. Segala keindahan tersebut membuat mereka menjadi enggan untuk hidup secara nyata dalam kehidupan sosial mereka yang sebenarnya. Padahal segala kesempurnaan itu tidak akan berlaku untuk selamanya,” jelas Dewan Penasehat Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta tersebut.

Kini kita semakin sulit untuk membedakan mana kebenaran dan kebohongan pada apa yang ditampilkan dalam dunia maya karena diterjemahkan ke dalam perilaku sosial. Sementara efek utama dari karakteristik kepribadian dan situasi pada kemampuan bersosialisasi sudah memberikan efek interaksi kepada orang lain – dalam interaksi sosial kehidupan dan situasi nyata.

Perilaku yang memberikan efek terhadap kepribadian dan situasi, serta efek interaksi terhadap orang lain di berbagai situasi yang berbeda yang memerlukan kesesuaian dan transferabilitasnya ke domain perilaku lainnya.

“Penyesuaian dan transferabilitas ini berpotensi untuk menghalangi komunikasi yang efisien dapat disebut sebagai gangguan komunikasi. Gangguan komunikasi ini mungkin dapat mempengaruhi selektivitas dan mengalihkan perhatian komunikator, sehingga sulit bagi komunikator untuk menyampaikan informasi, dan menyebabkan menciptakan kegagalan dalam proses komunikasi,” jelas Prof. Rudy.

Meski begitu, Prof. Rudy mengakui jika digitalisasi dalam proses komunikasi melahirkan pandangan dua sisi sebagai pendukung kemajuan dan sebaliknya, serta teknologi sebagai penghambat pertumbuhan dan perkembangan.

Kedua sisi ini menyebabkan persepsi informasi yang sering membuat mereka lebih rentan terhadap salah tafsir. Kesalahpahaman ini memudahkan kesalahpahaman satu sama lain, terutama ketika kita berinteraksi dengan orang lain.

Faktor kunci untuk menghindari dari kesalahpahaman dalam berinteraksi dengan orang lain adalah menggunakan metode komunikasi dengan pengkajian untuk memilah, memilih, dan menyampaikan konten komunikasi yang baik, benar dan bermanfaat, secara persuasif.

Baca Juga :  NAJA, Tahfiz Asal Gomong Mewakili Kota Mataram Dalam Acara Hafiz Indonesia

Penggunaan metode ini sebaiknya dilakukan bersama-sama secara konsisten. Sebab komunikasi adalah aktivitas proses menuju kesepakatan untuk kesamaan pandangan atau bertentangan sama sekali. Komunikasi dua arah yang penuh keterbukaan dan rasa untuk saling mengisi, memungkinkan pesan diterima dan kemudian disepakati secara positif demi kebermanfaatan bersama.

“Upaya komunikasi untuk kebermanfaatan bersama perlu dilakukan, karena sebagai manusia, kita selalu memiliki pilihan untuk belajar sesuatu dari orang lain dengan membuka hati kita kepada mereka yang mungkin tidak setuju, dan memungkinkan kita untuk memperluas pengetahuan dan belajar dari satu sama lain, untuk membangun kesadaran dan pencerahan demi kebaikan kita bersama,” tutup Prof. Rudy.