Jangan Risau, Allah Ada

Oleh: Aswan Nasution

Religi527 Views

“Seberapa besar sedihmu karena dunia? Maka sebesar itu hasratmu pada akhirat hilang dari dirimu. Seberapa besar sedihmu karena akhirat? Maka sebesar itu pula hasratmu pada dunia akan menguap sirna.”[Malik bin Dinar].

BERBAGI News – JIKA kita mau jujur dan merenung sejenak tentang diri kita sendiri, sebenarnya kita dikepung oleh rasa takut, malu dan rasa bersalah yang sangat besar. Sebabnya, kita sering kali merasa, ikatan dan kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi dàn bersama kita kerap kali longgar. Padahal Allah mengetahui setiap desir hati dàn sekecil apa pun perbuatan hamba-Nya.

Dan kadang-kadang desir hati dan perbuatan yang kita lakukan, tanpa sadar telah mengantarkan kita pada keraguan tentang segala urusan yang telah diberikan jaminan. Kita sering mendengar ulama dan ustadz mengingatkan dari atas mimbar, bahwa mati, jodoh, dan rezeki telah ditentukan. Kita juga sering meyakinkan diri sendiri, jika sudah jodoh tak akan kemana, jika sudah rezeki tak akan tertukar dan jika ajal tak akan tertunda.

Tapi sering kali justru kita merisaukan apa yang telah diberikan jaminan oleh Allah SWT dalam kehidupan ini. Contoh kecilnya adalah krisis global yang menghantam sektor ekonomi dan mata pencarian. Ribuan orang sudah mulai dirumahkan. dan ribuan lagi dari seluruh wilayah di Indonesia akan mengalami kondisi yang sama.

Tapi kita juga tidak akan menyerah meyakinkan saudara dan teman-teman yang mengalami nasib yang sama, jangan risau ada Allah! Selama usaha maksimal telah dilaksanakan, ikhtiar besar telah dilakukan, maka kita hisa dengan yakin berkata, “There is a God So stop worrying and enjoy your life.”

Yang justru perlu kita khawatirkan adalah, apa yang tak pernah dijamin dan tak pernah diberi kepastian oleh Allah azza wa Jalla. Apa itu? Ibadah kita. Shalat kita. Sedekah kita. Allah tak pernah mengeluarkan jaminan bahwa ibadah yang kita lakukan akan mendapatkan nilai A+ dan layak diterima.

Allah tak pernah memberikan kepastian bahwa seluruh amal yang kita lakukan berstatus sempurna dan akan mengantarkan kita ke surga.
Tentu saja kita selalu berbaik sangka atas semua ibadah yang kita lakukan dalam rangka beribadah kepada Allah. Tapi kita juga wajib memastikan melakukan semua ibadah tersebut dengan maksimal, paripurna, dan tanpa cela.

Kemiskinan tentu saja tidak ada yang menganggapnya sebagai nilai positif. Tapi harus kita tanyakan pada diri sendiri, apakah diagnosa kemiskinan sesungguhnya? Apakah kemiskinan itu sebuah penyakit atau hanya sekedar gejala?

Sungguh, kemiskinan hanya sekedar gejala. Persepsi kita atas hartalah yang sesungguhnya menjadi penyakit besar yang tak kita sadar. Ketika kemiskinan kita anggap sebagai penyakit, maka sangat wajar ketika krisis datang ada lima status merah yang akan kita sandang. Pengangguran akan bertambah. Kriminalitas akan meningkat. Perceraian akan membuncah. Rumah Sakit Jiwa akan kelebihan kuota. Dan jumlah orang yang bunuh diri akibat frustrasi juga akan merangkak naik.

Semua bisa terjadi ketika kita menganggap kemiskinan sebagai penyakit. Padahal penyakit yang sesungguhnya adalah persepsi kita tentang harta. Kita telah meletakkan harta di dalam hati, bukan di ujung jari.

Muslim yang baik adalah manusia yang selalu sadar bahwa harta hanya sekadar titipan Allah semata. Ketika harta datang, maka dia akan bersyukur dan amanah. Ketika harta pergi, dia akan sabar dan istiqamah. Sebab itu pula hukum paling detil dalam al-Qur’an adakah hukum waris. Allah yang punya harta, dan ketika manusia yang dititipi meninggal dunia, maka menjadi hak Allah pula untuk mengatur hukum pembagiannya.

Malik bin Dinar suatu hari berakata, “Seberapa besar sedihmu karena dunia? Maka sebesar itu hasratmu pada akhirat hilang dari dirimu. Seberapa besar sedihmu karena akhirat? Maka sebesar itu pula hasratmu pada dunia akan menguap sirna.”

Sekarang, kita tinggal mengukurnya, seberapa sedih hati kita tentang akhirat dan dunia. Jika sudah mampu mendiagnosa, maka akan lebih mudah megetahui dimana harta bertahta di dalam diri kita. Di hati atau di ujung jari?

Baca Juga :  Berqurban, Bukan Menjadi Korban