Tangga Kehidupan Pasca Kemerdekaan

Agama343 Views

Penulis: Muhammad Saeful Kurniawan
Al-Mihrab Foundation

Tulisan ini, saya awali dengan cuplikan firman Allah SWT

“Pada hari itu, akan kupergilirkan (sukses-gagal, kaya-miskin, jatuh-bangun dan lain sebagainya) diantara manusia.”

Artinya, dalam kehidupan ini sarat dengan problematika kehidupan yang bersifat fluktuatif. Tidak jarang, sebuah negara yang hancur lebur karena ulah kolonial asing dan aseng, saat ini berangsur-angsur pulih kembali. Sebut saja, negara Suriah yang saat ini mulai berbenah diri setelah sekian lama terjadi konflik internal dan eksternal yang dimotori oleh ISIS besutan zionis Israel dan campur tangan pihak asing dibawah pimpinan Basyar al-Asad.

Saat ini, kita juga disuguhi jatuhnya pemerintahan Afganistan besutan Amerika setelah menginvasi pemerintahan Taliban tahun 2001 silam. Kemarin, pasukan Taliban menduduki istana kepresidenan setelah presiden Asraf Ghani bersama keluarga kabur dengan pesawat kenegaraan yang dipenuhi dengan uang hingga tercecer di bandara Internasional Kabul ke negara Uzbikistan.

Sama halnya, negeri kita tercinta Indonesia yang ratusan tahun dijajah oleh kolonial Belanda, akhirnya tahun 1945 presiden Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Tentu, itu tidak gratis. Ada tetesan darah para syuhada pahlawan bangsa yang rela mengorbankan diri dari jeratan para penjajah. Yang perlu kita lakukan saat ini, menghayati lagu “Syukur” yang diciptakan oleh HAN al-Muthahhar. Siapa sebenarnya HAN al-Muthahhar itu?beliau adalah seorang habib garis keturunan Rasulullah dari marga al-Muthahhar.

Rasa syukur kita ini, harus implimentasikan dengan cara menghargai para pejuang pahlawan kita dengan cara menjaga dan melestarikan bangsa Indonesia dari penjajahan gaya baru. Apa itu penjajahan baru? Keterkekangan dalam berpolitik, belajar, berpendapat, dan kemandirian negara dari ketergantungan pada blog besar dunia, yaitu blog timur dan blog barat.

Baca Juga :  Kapan Kita Memperbaiki Diri

Memang, secara simbolis bangsa Indonesia sudah merdeka tetapi secara maknawi bangsa ini masih dibawah cengkraman bangsa lain. Indikatornya, banyak. Secara politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya masih terjajah oleh bangsa lain. Pola penjajahan modern tidak mengangkat senjata (hard power)akan tetapi dengan cara perang pemikiran (shop power). Tanpa sadar, kekayaan negara kita dikuasai pihak asing dan aseng. Bahkan, negara kita yang kaya ini, dijerat hutang hingga ribuan triliun. Menurut laporan BPK diistana merdeka, hutang negara kita diambang batas ketidak-wajaran.

Dalam memahami esensi kemardekaan ini, saya mengejawantahkan melalui pendidikan informal kepada Puteri ketiga saya Nilta Aqiela Fanani. Ia, saya ajak belanja super maket Situbondo. Usai belanja, saya ajak kelantai dua dengan menaiki lift, sementara turunnya saya ajak melalui tangga manual. Sembari menasehatinya,

“Nak, hidup ini pasti akan melalui kedua tangga ini. Tangga pertama yaitu tangga elektronik yang daya geraknya dibantu oleh teknik mesin modern, sementara tangga kedua yaitu tangga biasa yang perlu berlelah-lelah dan berletih-letih dulu untuk menggapai tujuan.” Ujarku padanya.

Artinya, pernak-pernik kehidupan ini ada yang instan dan ada yang manual. Keduanya adalah sebuah keniscayaan yang perlu kita hadapi dengan matang. Tidak perlu membenturkan keduanya, karena kita hidup di era digitalisasi 4.0. Oleh sebab itu, kita perlu menempa generasi keturunan kita dengan dua tangga kehidupan tersebut, agar mentalitas mereka siap berkompetisi dengan orang lain. Inilah, makna kemardekaan menurut sebagian orang. Merdeka dari keterpurukan. Merdeka dari keterjajahan pemikiran orang lain. Dan merdeka dari ketertindasan orang lain.

Salam, Muhammad Saeful Kurniawan, al-Mihrab Foundation (17 Agustus 2021).