Pesan Moral dari Peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW

Oleh: Aswan Nasution

Religi495 Views

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan sebagian dari tanda-tanda [kebesaran] Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [QS. Al Israa’ : 1].

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab 621 Masehi atau setahun sebelum hijrahnya Nabi Saw. ke Madinah. Pada saat itu kesabaran dan ketangguhan Nabi Saw. Menyiarkan agama Islam mengalami ujian berat.

Terjadinya teror dan blokade ekonomi dilancarkan oleh kubu musyrikin Makkah terhadap Nabi Saw, dan umat Muslim yang jumlahnya kecil. Pada warsa yang kritis itu terjadi pula dua peristiwa yang amat menggoncangkan batin Nabi Saw, sebagai manusia biasa.

Pertama, meninggalnya Abu Thalib, paman Nabi Saw. Walaupun Abu Thalib sampai akhir hayatnya tidak mau menerima Islam sebagai agamanya, tetapi ia secara konsekuen memberi bantuan moril bagi perjuangan Nabi menyiarkan ajaran Allah.

Malahan mempertaruhkan wibawa kebangsawanannya buat melindungi keselamatan jiwa Nabi Saw. daripada makar-makar busuk para pendusta kebenaran. Maka kematian Abu Thalib jelas menguntungkan dan menggembirakan para penantang Nabi Saw.

Kedua, berselang waktu tiga hari sesudah Nabi Saw, kehilangan Abu Thalib, dususul pula meninggalnya istri tercinta Nabi Saw., Sayda Khadijah Al- Kubra. Seorang pendamping setia dalam suka dan duka, yang setiap saat memberi dorongan dan menghibur Nabi Saw, dalam semua liku perjuangan yang ditempuh.

Tahun itu, yang diwarnai oleh rentetan petaka dan cobaan berat, jika kita baca dalam sejarah adalah merupakan sebagai tahun duka, atau lebih populer di zaman itu disebut dengan “ammul hanzn”.

▪︎Simbol Kebesaran dan Ketinggian Nubuat
Dalam situasi kondisi sedemikian Allah memberikan suatu pengalaman besar tiada tara, yang tidak pernah terpikir atau diangankan oleh Rasul yang tawadhu’ seperti Nabi Muhammad Saw.

Peristiwa mukjizat terbesar dalam sejarah itu, diulas oleh ahli pikir Islam dari Timur Tengah, DR. Wahbah Zuheily, “Tidak pernah ada sepanjang sejarah kemanusiaan suatu peristiwa yang berhak untuk dibanggakan dan dikagumi, diagungkan dan dianggap suci, seperti halnya kisah Isra’ dan Mi’raj ini, yang menjadi simbol kebesaran dan kehormatan Nabi Islam, Muhammad Saw.”

▪︎Preferensi Moral Manusia dan Bayangan Akhirat
Di sepanjang perjalanan Isra’ tersebut, Nabi Muhammad Saw, yang dipandu oleh malaikat Jibril, menyaksikan visualisasi dari bermacam preferensi moral umat manusia di segala zaman dan tempat, serta balasan dari Allah Swt, yang nantinya mereka pada hari Mahsyar, Hari Berbangkit yang menandai pergantian dunia dengan akhirat.

Adapun beberapa macam ragam visualisasi dipersaksikan kepada Nabi Saw, di sepanjang perjalanan Isra’, merupakan tamsil, contoh dan perjalanan bagi kita yang hidup di zaman sekarang, yang sebagaimana dimuat “matan” Haditsnya pada beberapa Kitab Hadits yang masyhur, diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, ketika Nabi melihat orang yang mencakar-cakar mukanya dengan kukunya sendiri, beliau bertanya: Ya Jibril, itu orang macam apa? Jibril menjelaskan Ya Muhammad, itu contoh dari umatmu yang suka menjelek-jelekkan saudaranya sendiri. Sesama muslim adalah bersaudara seperti satu tubuh. Jika yang satu sakit yang lain ikut merasa sakit.

Kedua, Nabi Saw melihat orang yang dipotong lidahnya. Ya Muhammad itu tamsil dari umatmu yang suka membuat atau penyebar fitnah, tukang bikin gosip, penghasut, Kata Malaikat Jibril.

Ketiga, kemudian beliau menjumpai orang memikul kayu. Bebannya tampak sudah berat, akan tetapi, beban yang sudah membuat jalannya terseok-seok itu makin ditambah, makin berat makin ditambah, begitu seterusnya. Sehingga Nabi merasa heran dan bertanya : Jibril apalagi ini? Jawab malaikat Jibril. Muhammad, itulah gambaran umatmu yang dipercaya untuk memikul amanat, tetapi sebelum amanat itu diselesaikan dia sudah menerima amanat yang lain.

Akhirnya bertumpuk-tumpuk di pundaknya. Di beri jabatan dan tak mampu menunaikan, namun ketika dikasih lagi ia mau, diberi lagi ia terima dan seterusnya. Demikian banyak jabatan yang dirangkap, tapi tak satupun yang berhasil dilaksanakannya.

Kempat, ditempat lain Nabi Saw menyaksikan sekelompok orang yang bercocok tanam. Anehnya, saat itu menanam pohon itu berbuah. Tiap kali dipetik seketika itu keluar lagi buahnya. Kata malaikat Jibril: Wahai Muhammad, itulah sebuah potret umatmu yang dengan gemar memberikan bantuan kepada orang yang memang memerlukannya. Mereka rajin sedekah, membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim piatu, memberikan bantuan kepada pembangunan masjid, menyeleggarakan dakwah, pendidikan dan semacamnya.

Jadi orang yang rajin membelanjakan harta dijalan Allah itu ibarat orang yang sekali menanamkan dan terus-menerus memanen buahnya. Sehingga milik kita yang sebenarnya bukanlah apa yang ada pada kita sekarang ini. Harta kita yang sesungguhnya adalah harta yang sudah
kita belanjakan di jalan Allah.

Dan masih banyak lagi ragam visualisasi dipersaksikan kepada Nabi Muhammad Saw, sebagai pelajaran bagi kita umatnya sekaligus merupakan sebagaimana Allah ingin perlihatkan sebagian kecil dari tanda-tanda kebesaran-Nya.

▪︎Audensi Kehadirat Allah
Di Sidratul Muntaha Nabi Muhammad Saw. melihat Arasy Allah dan langsung menuju kesana dengan tidak bisa lagi ditemani oleh Jibril. Ketika itu Nabi Saw. hanya dapat memandangi Arasy Allah diliputi ” nur” [cahaya] yang berkilau dari segala arah pandangan, yang tak kuat mata memandang lama.

Disitu Nabi Saw. mengetahui telah sampai di hadapan Allah Swt. Nabi Saw. bersujud dengan khusyuknya, merasakan nikmat spritual yang tiada bandingnya, dan menerima perintah shalat lima waktu. Pada “audensi” Nabi dengan Allah itu, Nabi menghaturkan segala puji, segala kehormatan dan segala keberkatan hanyalah milik Allah Penguasa Tunggal seluruh alam.

Dan Allah pun mengucapkan salam kepada Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw. tak ketinggalan memohonkan keselamatan untuk seluruh hamba yang saleh. Kata-kata yang diucapkan Nabi Saw itu dibaca kembali setiap melaksanakan shalat, yakni pada duduk tasyahud sebelum salam.

Sehingga sangat tepat Nabi Saw. mengupamakan, “Shalat adalah mi’rajnya orang mukmin”. Dalam hadits yang lain Nabi Saw, mengatakan, “Apabila seorang Muslim berdiri shalat maka sesungguhnya ia sedang berdialog dengan Tuhannya.” [HR. Shahih Muslim, Kitab Shalat].

▪︎Pemantapan Dakwah Rasulullah
Pengalaman Isra’ Mi’raj ini berpengaruh kuat terhadap kemantapan dakwah Rasulullah Saw., khususnya dalam menanamkan keyakinan di dalam hati umat terhadap kepastian adanya kehidupan akhirat dan kekuasaan Allah berkenaan dengan hal-hal yang ghaib dan supranatural.

Demikian beberapa hal yang perlu dicatat dan dipadukan berkenaan dengan hikmah Isra’ dan Mi’raj dalam rangka pembinaan iman dan takwa serta moral umat Islam. Semoga bermanfaat, Wallahu A’lam Bishawab.

Referensi:
SKJ.197 Nopember 1997M. Drs. Cholil Umam, Indah,1996. Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,1990.

Baca Juga :  Menjadi Tamu Allah Menuju Ka'bah