Kertas Coretan Magis Ahmad Tretetet

BERBAGI News – KERTAS itu masih tersimpan. Selembar kertas buku tulis anak sekolahan yang digunakan tahun 1970an. Terlipat kecil-kecil, ketika dibuka nampak 32 kotak bekas lipatan. Karena tak pernah dibuka, di salah satu sudut terkikis dimakan usia.

Nurmayati (49) membukanya dengan hati-hati. Ketika seluruh lipatan berhasil dibuka, di beberapa bagian sobek dan berlubang. Di hampir seluruh permukaan kertas nampak coretan tinta berwarna biru. Guratan yang mirip bekas menguji kelancaran tinta ketika pulpen baru dibeli. Seperti benang kusut.

“Ini coretan Tuan Guru Tretetet. Entah maknanya apa. Waktu Ibu saya masih hidup, pesan beliau, jangan disimpan sembarang dan tidak boleh hilang. Tetapi beliau tidak jelaskan kenapa harus disimpan sedemikian rupa,” ungkap Nurmayati.

Kertas tersebut, kata Nurmayati, dulu berada di dalam bufet, bersama benda lain pemberian Datuk Syeikh TGH Ahmad Tretetet. Antara lain Kitab Al-Qur’an berukuran lebih kecil daripada kotak rokok, kitab lainnya bertuliskan huruf Arab berfigura tinta emas. Meski ukurannya mini, huruf di kitab suci itu masih bisa jelas terbaca tanpa perlu berkaca mata plus bagi mereka yang rabun jauh stadium menengah.

Benda lainnya cukup membuat surprise. Nurmayati ternyata menyimpan foto Ahmad Tretetet yang tak pernah termuat di media mana pun. Inilah foto keempat sang tokoh.

Potret berwarna itu tergantung di dinding kamarnya dalam figura seukuran 3R. Walau bercak di beberapa bagian lantaran sekian lama menempel di kaca figura, wajah Ahmad Tretetet nampak cukup jelas. Berbeda dengan tiga foto yang dipublikasi sebelumnya, raut wajah dalam potret close up putra Almaghfurlah TGH Umar Kelayu ini telihat lebih muda.

Mendiang ayah Nurmayati, H Husin, dulu bekas Kepala Desa Selagalas, Cakranegara, semasih Mataram berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Lombok Barat. “Bapak saya bersahabat dengan Tuan Guru Tretetet. Tuan Guru sering datang ke rumah,” tuturnya.

Baca Juga :  Makam Tuan Guru Haji Ahmat Tretetet di Mataram

Ia juga beberapa kali diajak ibunya, Hj Amnah, mengunjungi Ahmad Tretetet di Karang Kelok, Monjok. “Waktu itu saya baru masuk sekolah. Antrean begitu panjang, mereka yang ingin bertemu beliau. Mereka datang sejak sore,” ujarnya.

 

Ada bangunan kayu mirip kios di depan rumah tempat tinggal Ahmad Tretetet. Di bagian depan dinding terdapat lubang persegi mirip loket. “Tuan Guru Tretetet ada di dalamnya. Hanya tangan beliau yang menjulur keluar, menyalami orang-orang yang datang,” katanya.

Silaturahmi itu hanya untuk datang bersalaman. Tidak ada dialog sama sekali. Orang-orang merasa lega setelah niatan sampai, bersentuhan tangan dengan tokoh yang benar-benar diyakini seorang wali! “Antrean itu berakhir sampai hampir maghrib,” jelas Nurmayati.

Ihwal kertas berisi coretan seperti yang disimpan Nurmayati, pernah mengubah hidup seorang pedagang makanan keliling di Mataram. “Dia diberikan Datoq kertas itu. Dan dia begitu meyakininya,” ungkap Saleh Amin, cucu Ahmad Treretet.

 

Saef, panggil saja begitu, menceritakan kisahnya kepada Saleh pada suatu hari. “Sejak coretan Datoq itu dia dapatkan, mengaku dagangannya laris manis. Kertas itu dia taruh di dalam kantong bajunya, dan dibawanya jualan setiap hari,” ucapnya.

Sampai suatu ketika, tanpa Saef ketahui, istrinya mencuci baju yang berisi kertas bertuah tersebut. Saat ia berangkat berjualan, ia teringat azimat itu. Betapa terkejutnya ia ketika mendapatkan bajunya berada di tali jemuran. Ia rogoh sakunya, menemukan kertas yang sudah menggumpal, menyatu, tidak dapat diselamatkan lagi.

Saef lemas. Ia tak bersemangat pergi berjualan. Kertas itu benar-benar sugesti baginya. Ia berusaha menemui Ahmad Tretetet, tetapi kertas coretan pengganti tidak pernah berhasil ia dapatkan lagi. Kehilangan lembar berisi guratan benang kusut itu baginya sebuah malapetaka, karena setelah itu keadaannya kembali morat-marit seperti semula.

Baca Juga :  Joko, "Crazy Rich Grobogan" yang Bangun Jalan Senilai Rp 2,8 Miliar, Kaget Namanya Viral

Masih tentang coretan magis, seorang WNI keturunan Tionghoa dari Jakarta berkunjung di tahun 1983. “Ia memperkenalkan diri bernama Cong. Saya yang terima dia sebelum bertemu Wak (paman – bahasa Sasak) Ahmad Tretetet, di Karang Kelok,” kata Muhammad Iqbal, keluarga dekat Ahmad Tretetet, ketika ditemui di Kelayu Utara, Selong, Lombok Timur.

Menurut Iqbal, Cong mengaku usahanya bangkrut. Dalam keputusasaannya ia mendapat petunjuk dari beberapa kali mimpi yang sama. “Mimpinya itu memintanya datang ke Lombok menemui seseorang. Awalnya ia menemui Maulana Syeikh TGH Zainuddin Abdul Madjid di Pancor, Lombok Timur,” tutur Iqbal.

Setelah sempat mendengar penuturan Cong, Maulana Syeikh mengatakan bukan dirinya yang ditemui berdasarkan isyarat mimpinya itu, tapi seorang tokoh bernama TGH Ahmad Tretetet. “Saya sampaikan keterangan Pak Cong kepada Wak. Wak minta kertas dan pulpen, lalu menggurat-gurat sesuatu di atas kertas,” lanjut lelaki yang sering menemani Ahmad Tretetet di rumah ataupun ketika bepergian.

Pria Tionghoa itu kebingungan setelah menerima lembar kertas penuh coretan yang tak dimengertinya sama sekali. Tidak seperti harapannya memperoleh petunjuk keluar dari masalah yang dihadapinya. “Dia bingung. Lalu saya bilang, memang begitu biasanya. Boleh percaya boleh tidak. Silakan bawa kertas ini kalau merasa yakin,” ujar Iqbal yang saat itu masih berstatus mahasiswa.

Dengan ragu, Cong pamit kembali ke Jakarta.

Tak sampai seminggu Cong kembali lagi. Kali ini ia tak sendiri, tapi datang sekeluarga. “Ia menyerahkan uang cukup banyak. Tetapi menolaknya. Wak bilang tidak membutuhkannya. Serahkan saja uang itu kepada anak-anak yatim piatu dan orang-orang miskin,” ucapnya lagi.

Saat Cong menceritakan sekembalinya ke Jakarta ia tiba-tiba mendapatkan suntikan modal untuk memulihkan usahanya dari seorang kerabatnya di Cina, Iqbal tidak terlalu menanggapinya. Kisah orang-orang yang mendapat keberuntungan setelah bertemu pamannya, sudah demikian sering ia dengar.

Baca Juga :  Demi Anak Sekolah, Rela Berjalan Keliling Jualan Es Potong

Ada yang membuat Iqbal benar-benar terperangah. Keluarga Tionghoa itu memeluk Islam sejak Cong pertama kali bertemu Ahmad Tretetet. Sejak kembali setelah ia menerima kertas coretan dengan penuh keraguan. (Buyung Sutan Muhlis)

Comment