Belajar Memilih Pemimpin seperti Memilih Imam dalam Sholat

Oleh: ASWAN NASUTION

Religi457 Views

Rasulullah SAW bersabda: “Yang menjadi Imam shalat bagi manusia adalah yang paling baik bacaan Al-Qur’annya.” [HR. Muslim].

UMAT beragama khususnya umat Islam tidak perlu bingung dalam memilih pemimpin, karena dalam Islam sudah ada kriteria yang harus dipedomani bagaimana memilih seorang imam untuk shalat berjamaah.

Apabila umat salah dalam memilih seorang imam untuk memimpin shalat berjamaah. Tidak akan berjalan dengan baik, bisa jadi banyak jamaah yang gelisah, atau tidak khusuk atau bahkan memutuskan hubungan dengan imam.

Akan lebih parah lagi kalau jamaah jadi kacau, shalat berjamaah tidak terlaksana. Kalau dalam hubungan bernegara itu artinya masyarakat menjadi kacau dan tujuan bernergara tidak tercapai.

Jika imam-imam yang baik yang mampu memimpin shalat berjamaah, sehingga jamaah menjadi khusuk, mengikuti semua bacaan imam dengan penuh perhatian sehingga dia merasa tujuan shalatnya tercapai, merasa senang dan puas dipimpin oleh seorang imam yang baik.

Sudah barang tentu seorang imam itu harus bersih baik lahiriyah maupun rohaniyahnya. Dalam rohaniyah menyangkut prilaku, dia benar-benar seorang yang tidak bermasaalah, berprilaku baik, tidak pernah melakukan kejahatan, berwibawa dan dihormati oleh jamaah.

Bila dia seorang pribadi yang bermasalah apalagi menyangkut kejahatan, sudah pasti jamaah tidak akan hormat dan akan menolak kepemimpinannya sebagai imam. Demikian juga seorang pemimpin untuk memimpin negara sebesar Indonesia ini.

Kalau pemimpinnya orang yang bermasalah, seperti terlibat KKN, terlibat kejahatan kemanusiaan, kriminalitas, dsb sudah barang tentu rakyat kurang percaya kepadanya, karena hal itu menyangkut kebersihan rohaniyah seorang pemimpin.

Aspek Kemampuan

Kriteria pertama seorang pemimpin itu ialah yang paling faseh bacaannya diantara jamaah. Syarat kefasehan ini adalah bakat alamiah, atau kemampuan yang diberikan oleh Allah SWT kepada seseorang dimana dia memiliki lidah yang sudah melafazkan ayat-ayat Al Qur’an dengan baik.

Kalau dianalogikan dengan pemimpin nasional, maka yang kita dambakan ialah seorang yang benar-benar mempunyai kemampuan dalam memimpin. Dan itu dapat kita lihat dari pengalamannya. Ini mengambarkan bahwa dia orang yang pandai memimpin, dan orang yang seperti ini boleh dipercaya.

Jadi keberhasilan seseorang dalam pengalaman kepemimpinannya dapat dijadikan ukuran, apakah dia berbakat atau tidak. Ini adalah kriteria pertama dan utama.

Aspek Keilmuan

Dalam memilih seorang imam, apabila ditemukan beberapa orang yang fasih maka jamaah harus mencari siapa yang lebih tinggi ilmunya dari diantara mereka, jadi aspek keilmuan ikut mewarnai kriteria seorang imam.

Apabila kriteria pemimipin yang akan memimpin sebuah negara, sudah seharusnyalah aspek keilmuan ini menjadi syarat yang diperhitungkan. Jadi tidak hanya memperhatikan bersihnya saja, atau kemampuannya saja. Orang yang mampu dan berilmu tinggi lebih berhak menjadi pemimpin, ketimbang yang hanya mampu namun ilmunya rendah.

Kesediaan Untuk Ditegur

Seorang imam yang melakukan kesalahan dalam memimpin shalat, harus bersedia ditegur atau diluruskan oleh jamaah. Nah… Seharusnya seorang pemimpin juga bersedia dikritik oleh masyarakat. Jadi dia harus terbuka untuk menerima kritik, dan menghargai setiap kritik yang dihadapkan kepadanya.

Itu artinya dia bena-benar membuka kebebasan untuk menyampaikan pikiran dan perasaan rakyat. Sudah barang tentu semuanya dilakukan dengan tata krama dan sopan santun, tidak dengan cara menghina. Mengkritik sesungguhnya mempunyai nilai positif, sedangkan menghina justru mempunyai nilai negatif yang dapat memancing perpecahan, atau respon yang tidak diharapkan dari yang mendapat kritik.

Kesediaan Untuk Berubah

Seorang Imam yang ditegur jamaah karena kesalahan yang dilakukannya harus bersedia memperbaiki kesalahannya itu sepanjang yang diingatkan jamaah itu benar adanya. Kalau cuma didengarkan saja tanpa melakukan perubahan, itu sama juga bohong. Berarti imam tidak mau memperbaiki kekeliruannya.

Demikian juga seorang pemimpin, walaupn dia tidak marah dikritik, tidak melakukan tindakan represif, namun dia diam saja tanpa memeperbaiki kesalahannya. Kalau demikian tentu tidak ada perubahan, padahal yang dikehendaki rakyat pemimpin berubah dan melakukan kebijakan sesuai dengan aspirasi rakyat.

Kesediaan Untuk Mundur

Kalau seorang imam sudah tidak suci lagi, walaupun jamaah tidak mengetahuinya, tapi dia merasa bahwa dia tidak pantas lagi menjadi imam. Karena itu dengan penuh kesadaran dia harus mundur, agar tidak berkepanjangan berbuat dosa dan menanggung dosa jamaah yang diimaminya.

Begitulah pula seperti misalnya dengan seorang pemimpin nasional dimana nasib bangsa dipertaruhkan ditangannya. Kalau dia sudah melakukan berbagai kesalahan yang diketahui rakyat, apalagi rakyat sudah memintanya untuk mundur, yaaa… seharusnya dia bersedia untuk mundur.

Ternyata budaya mundur itu, merupakan budaya yang sudah dicontohkan oleh pemimpin-pemimpin negara maju yang dengan segera mengambil sikap mundur apabila merasa dirinya sudah tidak pantas lagi menjadi pemimpin.

Berbeda dengan negara kita cintai ini, dengan berbagai alasan untuk mempertahankan jabatan dan kedudukannya, walaupun rakyat sudah mengutuk kepemimpinannya. Padahal budaya mundur merupakan bagian dari budaya tanggungjawab, baik terhadap diri, rakyat, apalagi terhadap Tuhan.

Ke depan kita merindukan pemimpin yang menghayati arti budaya mundur itu, dan bersedia mundur apabila sudah sering tergelincir dalam kepemimpinannya, apalagi di kalangan rakyat yang menuntutnya untuk mundur. Itu berarti menghidupkan budaya imam dalam shalat berjamaah. Wallahu a’lam bish shawab.

Referensi:
Ikhlas Beramal [IB], No.32/VII/2004.

Baca Juga :  UAS akan menggelar Tabligh Akbar di "Pulau Seribu Masjid"