Etika Pemilih dan Hak Pilih yang Beretika

Oleh: Johairi

Opini296 Views

Pada 14 Fabruari 2024, kita akan melakukan hak konstitusi sebagai warga negara untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPD, dan DPR mulai dari pusat sampai tingkat daerah.

Sebagai warga negara yang baik, jangan sia-siakan hak suara kita. Buanglah jauh pemikiran bahwa “siapa pun yang menjadi presiden dan wakilnya serta para wakil rakyat yang secara subtansi mewakili suara dan hak kita sebagai warga negara tidak berpengaruh pada diri, pada keluarga kita, bahkan pada keberlangsungan berbangsa dan bernegara”. 

Ucapan “siapa pun presiden dan wakil presidennya nanti tidak akan merubah nasib kita, yang buruh tetap menjadi buruh, petani akan menjadi petani, pedagang juga setiap hari akan ke pasar, buruh bangunan juga akan sama”, tidaklah lantas membenarkan pilihan kita liar tanpa dasar.
Jangan sampai, saat pemilihan tiba, kita memilih dengan ‘sembrono’ karena tidak melihat rekam jejak, karena tidak melihat ketaqwaan sang calon yang menjadi penilaian utama dari seorang pemimpin. Jangan sampai terjadi kita kemudian gol-put.

Surat Ar-Rad ayat 11 mengingatkan kita betapa pentingnya setiap ikhtiar yang berpijak pada dasar yang benar akan membawa perubahan, termasuk dalam hal pemilihan. Arti dari ayat ini berbunyi, “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaga bergiliran, dari depan dan belakangnya. 
Mereka menjaganya atas perintah Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka.”

Dari ayat ini tampak jelas bahwa perubahan itu yang menentukan adalah ikhtiar diri, meskipun hasil akhir adalah hak priogratif-Nya.
Dalam kontek pemilihan umum, kekayaan sudut pandang dengan pemenuhan literasi yang cukup untuk melihat sosok yang pantas kita pilih adalah keniscayaan. Bagaimana para timses melakukan strategi untuk memenangkan paslonnya juga bisa kita baca dengan kasat mata. Strategi pemenangan menjadi keniscayaan, tetapi tidaklah lantas menghalalkan segala cara karena semua ikhtiar itu berbatas etika dan kelayakan.

Baca Juga :  Covid-19 dan Perubahan Sosial (Kajian Sosiologi Agama: Potret Ritual Keagamaan di Masa Wabah)

Fenomena akhir-akhir ini semakin melengkapi kemampuan literasi kita. Sivitas perguruan tinggi, para begawan pendidikan, sudah turun gunung. Artinya, memang negara kita sekarang tidaklah sedang baik-baik saja.

Para guru besar, yang setiap harinya bergelut dengan keilmuan, memberikan pengajaran baik akademik maupun moral, tentunya tidak akan mengambil sikap jika tidak ada sesuatu yang mengganggu kestabilan nasional. Setiap tindakan yang diambil tentunya berdasar; bukan hanya kontek melainkan teks yang menjadi dasar subtansinya. Dan tentu beliau-beliau ini jauh dari kepentingan. Petisi-petisi yang mereka lahirkan berfungsi mengingatkan para pejabat agar kembali kepada rel yang benar dan sesuai dengan undang-undang serta sumpah jabatan.

Pemilu yang diadakan setiap lima tahun sekali adalah ajang demokrasi yang di dalamnya ada tata kelola dan aturannya. Saat pemilu tiba adalah saat yang tepat untuk memilih figur pemimpin yang memiliki ‘kesempurnaan’ baik ketaqwaan maupun keilmuan. Figur yang memiliki prasarat pemimpin yang baik tentu kebijakannya akan menghadirkan mekanisme jangka panjang yang diperlukan dalam mengelola negara demi keamanan, kenyamanan, keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Karena pentingnya sosok pemimpin, maka pilihlah figur yang tepat sesuai nurani, dan jangan karena nafsu. Apalagi kalau dasar yang digunakan fanatik buta atas sosok yang kita puja. Bahkan sampai rela menggadaikan moral demi selembar rupiah yang menyebabkan hati kita rusak.

Ketika kita terpengaruh karena imbalan, pilihan pemimpin yang sesungguhnya memenuhi kriteria tidak kita pilih gara-gara kita telah mendapatkan rupiah, atau mendapatkan barang maupun jasa berupa jabatan, maka rusak lah hati kita. Akibatnya tunggu suatu saat akan menjadi bom waktu yang bisa merusak karena ledakan destruktifnya.
Apalagi, kalau nyata-nyata pemberiannya berbentuk suap. Dampaknya akan lebih dahsyat.
Dalam hadist, Rasulullah Saw bersabda, “Allah Swt melaknat orang yang menyuap, orang yang menerima suap, dan orang yang menjadi perantara antara keduanya (HR. Imam Ahmad dan Ath-thabrani).

Baca Juga :  Memaknai Perayaan Imlek 2021 Sebagai Momentum Memupuk Rasa Persaudaraan dan Harapan Baik di Masa yang Sulit

Dari hadist ini jelas betapa ancaman laknat Allah Swt itu bukanlah main dampaknya, baik bagi diri, maupun keluarga kita. Kenapa Allah Swt melaknat? Karena seorang pemimpin akan memegang peran penting dari setiap kebijakan yang diambilnya. Apakah kebijakan itu bisa mensejahterakan masyarakatnya atau sebaliknya, apakah bisa adil atau tebang pilih, dan contoh lain yang bisa menggunakan hukum perbandingan lainnya.

Oleh karenanya, penting bagi kita sebagai pemilih, sebelum dari masing-masing calon ditentukan menjadi pemenang, kita harus menggunakan hak pilih dengan hati nurani berdasar kriteria kepemimpinan yang baik.

Apa saja kriteria tersebut? Pertama, mempunyai akidah yang lurus (Ketaqwaan yang baik kepada Tuhannya). Kedua, memiliki wawasan yang luas. Ketiga, mempunyai dedikasi mengabdi kepada masyarakat yang di pimpinnya. Keempat, mempunyai komitmen yang kuat untuk berlaku adil, tidak merusak, dan menciptakan kesejahteraan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongannya.

Itu lah yang menjadi acuan saat kita memilih. Apabila kita selaku pemilih mengetahui ada di antara calon yang memiliki dan atau mendekati kriteria tersebut tetapi tidak kita pilih, pasti ada risikonya. Hal ini dikarenakan memilih tidak hanya berhenti di TPS, tetapi akan terus berlanjut kepada kepemimpinan calon terpilih dari yang kita pilih. Apabila dia (pemimpin terpilih) amanah atas tugas dan tanggungjawabnya, maka setiap kebaikan dari kebijakannya akan menjadi ladang pahala bagi pemilihnya. Pun ketika kita memilih pemimpin yang tidak amanah, maka setiap ketidakadilan dan ‘pengkhiatanannya’ terhadap sumpah jabatan dan masyarakat yang dipimpinnya, dosa-dosanya akan meluber kepada orang-orang yang berperan memenangkannya.

Oleh karena itu, bagi kita masyarakat biasa tentu tidak boleh tinggal diam. Mari kita gunakan hak konstitusi ini untuk memilih pemimpin yang sesuai kriteria kebaikan. Ajang pemilihan umum 14 Pebruari 2024 adalah sebagai pembuktian diri dan menjadi penentu akan seperti apa bangsa kita ke depan.
Apa dan bagaimana negara kita ke depan sangatlah tergantung dari pilihan kita. Satu suara kita akan berpengaruh bagi perubahan.

Baca Juga :  Tidak Banyak Yang Tau… Berikut Manfaat Air Hujan Untuk Kesehatan

 Saat kita memilih sosok pemimpin yang amanah dalam melaksanakan sumpah jabatan, memiliki kemampuan dan kecerdasan dalam mengelola negara, serta berlaku adil kepada masyarakatnya, maka apa yang menjadi kekhawatiran tentang masa depan, lapangan pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan tidak perlu dikhawatirkan. Kebijakan seorang pemimpin yang berintegritas akan membuka akses kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakatnya.

Wallahua’lam bishawab.