Gugat Menggugat Ke MK Harapan Keadilan Pemilu

Oleh; Noly Aditiya Ali Putra S.H.

Opini203 Views

BERBAGI News – Pada tanggal 20 Maret 2024 kita sama-sama menyaksikan melalui media massa hasil Pemilihan umum (Pemilu) 2024, dalam kontestasi Calon presiden (Capres) dan Pemilihan legislatif (Pileg).

Dimana para peserta pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat mengajukan permohonan PHPU ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam jangka waktu 3 x 24 jam sejak hasil pemilu ditetapkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sementara itu, peserta pemilu presiden dan wakil presiden dapat mengajukan permohonan PHPU ke MK dalam waktu paling lama tiga hari setelah penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden oleh KPU.

Tentunya sebagai warga negara terutama kontestan atau siapa pun atau pihak manapun berhak mengajukan PHPU ke MK karena upaya PHPU di MK merupakan bagian dari mencari keadilan elektoral (electoral justice).

Sebagai negara demokratis dan salah satu dari indikator penting dalam pemilu demokratis yakni kepatuhan dan penegakan hukum pemilu. Atauran pemilu harus memberikan kesempatan dalam juga waktu yang ditetapkan, kepada para pihak yang merasa hak elektoral mereka dirugikan, untuk menyampaikan perselisihan (complaint).

Karena hal itu dalam rangka menjaga integritas proses dan hasil pemilu dibutuhkan adanya mekanisme yang dapat mengakomodasi seluruh permasalahan pemilu yang mungkin akan muncul baik pada saat proses pencalonan, saat kampanye, pemungutan suara, maupun pada penghitungan suara dan penetapan hasil Pemilu.

Sehingga upaya pengajuan PHPU ke MK juga untuk memastikan proses pencarian keadilan pemilu tersebut dapat dilakukan dengan adil, akuntabel, dan tepat waktu.

Sehingga akhir-akhir ini ketika mendengar desas desus adanya gugatan ke MK pasca penetapan KPU RI atas hasil Pilpres serta pileg pada tanggal 20 Maret 2024.

Baca Juga :  Milenial Hancur Dengan Narkoba

Khususnya Pilpres yang dimenangkan oleh Paslon 02 yakni Prabowo dan Gibran dengan perolehan suara mencapai 58.6 % dengan kemenangan satu putaran di 37 provinsi.

Adanya upaya perselisihan pemilu tentunya tidak hanya dipandang sebagai bentuk upaya pencari keadilan bagi para pihak yang merasa hak elektoral mereka dirugikan, tetapi juga merupakan upaya untuk mendorong akuntabilitas dan transparansi sistem politik. Untuk itulah, diperlukan adanya mekanisme penyelesaian sengketa pemilu (election dispute resolition) yang dapat menjamin stabilitas sistem politik dan dapat menjamin implementasi hak-hak politik dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis.

Apalagi ketika kita melihat MK sebelum pemilu mendapatkan sorotan tajam dari publik, tidak sedikit juga publik yang mempertanyakan bagaimana nantinya MK akan memutus perselisihan hasil pemilu. Apakah MK masih dapat diharapkan dalam menegakkan keadilan pemilu?.

Asumsi semacam ini terjadi ditengah masyarakat, mengingat terdapat isu krisis kepercayaan dan legitimasi seusai MK membacakan Putusan Uji Materi No 90/PUU-XXI/2023. Ada isu konflik kepentingan dan independensi yang dipertanyakan publik. Sehingga Publik juga menunggu apakah MK dapat mengungkap isu kecurangan pemilu.

Gugatan ke MK setelah pembacaan penetapan Hasil Pemilu ini, dapat menjadi Mega Proyek atas pengembalian Marwah MK kepada masyarakat dengan memutuskan PHPU dengan se adil-adilnya.

Ketika kita melihat kebelakang juga adanya gugatan ke MK atas hasil Pilpres ini, bukan terjadi sekali saja. Sebagai contoh mulai 2014 Pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa atas kekalahan melawan Jokowi dan Jusuf Kala, tahun 2019 Prabowo dan Sandi atas kekalahan melawan Jokowi dan Makruf Amin.

Bentuk Upaya penyelesaian PHPU di MK yang merupakan akomodasi keadilan pemilu yang telah disediakan undang-undang pemilu. Sebagai sebuah negara demokrasi, kita sudah memilih insititusi yang disediakan negara untuk menyelesaikan konflik yang muncul akibat proses penyelenggaraan pemilu.

Baca Juga :  Membangun Sarjana Hukum yang Berjiwa Entrepreneur dan Humanis

Menciptakan keadilan tentunya sebagai bentuk penegakan amanat konstitusi UUD 45 khusus pasal 1 ayat 3 “Indonesia adalah Negara Hukum” yang dimana citra negara hukum yakni keadilan itu sendiri. (NAAP)